Fenomena “No Viral, No Justice”: Ketika Keadilan Harus Menunggu Viral
Apa Itu “No Viral, No Justice”?
Secara sederhana, “No Viral, No Justice” berarti bahwa tanpa viral, keadilan tak kunjung datang. Istilah ini muncul sebagai bentuk kritik terhadap aparat hukum yang cenderung baru bersikap responsif ketika suatu kasus sudah menjadi konsumsi publik secara luas melalui media sosial. Salah satu contoh nyata adalah kasus penganiayaan terhadap seorang karyawati toko roti di Jakarta Timur. Korban, meskipun telah melapor sejak Oktober 2024, baru mendapatkan perhatian serius dari pihak kepolisian setelah video kejadian tersebut viral di media sosial pada pertengahan Desember. Padahal, penegakan hukum seharusnya tidak bergantung pada tingkat popularitas sebuah kasus.
Mengapa Ini Bisa Terjadi?
Fenomena “No Viral, No Justice” terus berulang karena beberapa faktor yang saling berkaitan. Salah satunya adalah kurangnya responsivitas aparat penegak hukum. Banyak laporan kasus yang mandek, bahkan diabaikan, ketika tidak mendapat perhatian publik. Hal ini menandakan bahwa masih ada persoalan dalam profesionalitas serta integritas sebagian aparat yang belum menjalankan tugasnya secara optimal.
Di sisi lain, viralitas di media sosial menciptakan tekanan besar bagi institusi hukum untuk segera bertindak. Dalam banyak situasi, viralnya sebuah kasus memaksa pejabat atau lembaga terkait memberikan tanggapan cepat demi menjaga citra mereka di mata masyarakat. Tekanan opini publik ini menjadi semacam "alarm darurat" yang sering kali lebih ampuh dibandingkan laporan resmi.
Media sosial juga memegang peran besar sebagai alat advokasi. Platform ini tidak hanya menjadi ruang untuk bersosialisasi, tetapi juga menjadi tempat bagi masyarakat memperjuangkan keadilan. Warganet secara aktif menyuarakan protes, menyebarkan informasi, hingga menggalang dukungan publik melalui tagar dan kampanye digital yang kian kuat pengaruhnya.
Namun, di balik kekuatannya, ketergantungan pada viralitas dalam penegakan hukum membawa sejumlah dampak negatif. Salah satunya adalah ketidakadilan terhadap kasus-kasus yang tidak viral. Banyak peristiwa penting yang terabaikan hanya karena tidak menarik perhatian media atau tidak memiliki dokumentasi visual yang dramatis. Selain itu, muncul risiko "trial by social media", yaitu kondisi ketika opini publik terbentuk sebelum fakta hukum terungkap sepenuhnya. Hal ini dapat mengganggu asas praduga tak bersalah dan merusak proses hukum yang seharusnya objektif. Lebih jauh, kondisi ini juga berpotensi menurunkan kepercayaan masyarakat terhadap institusi hukum, karena hukum terlihat hanya bekerja di bawah tekanan publik, bukan atas dasar keadilan itu sendiri.
Menuju Penegakan Hukum yang Lebih Adil
Agar keadilan tidak lagi bergantung pada viralitas, diperlukan reformasi mendasar dalam sistem penegakan hukum di Indonesia. Salah satu langkah utama adalah meningkatkan profesionalisme aparat hukum. Setiap penegak hukum harus mampu bekerja berdasarkan aturan dan prosedur yang berlaku, bukan karena tekanan publik semata. Selain itu, dibutuhkan pengawasan yang kuat dan bersifat independen. Kehadiran lembaga pengawas eksternal yang mampu memastikan seluruh laporan masyarakat ditindaklanjuti secara adil akan memperkuat akuntabilitas sistem hukum.
Penting juga untuk meningkatkan literasi hukum masyarakat. Dengan pemahaman yang baik tentang hak dan prosedur hukum, masyarakat tidak akan merasa bergantung pada viralitas untuk memperjuangkan keadilan. Terakhir, transparansi dalam proses hukum perlu terus ditingkatkan. Ketika proses hukum dapat diakses dan diawasi publik secara wajar, kepercayaan terhadap lembaga hukum akan tumbuh, dan spekulasi atau opini yang tidak berdasar dapat diminimalkan.
Fenomena “No Viral, No Justice” adalah refleksi dari lemahnya sistem hukum yang masih rentan terhadap tekanan publik dan popularitas kasus. Seharusnya, keadilan dapat ditegakkan tanpa harus viral. Sudah saatnya kita memiliki sistem hukum yang mampu bertindak secara profesional, adil, dan merata bagi semua orang, terlepas dari status sosial atau sorotan media. Karena sejatinya, keadilan bukan soal siapa yang paling keras bersuara, melainkan siapa yang paling membutuhkan perlindungan.
Komentar
Posting Komentar